Iklan

Istana vs Kapolri? Dua Tim Reformasi Polri Beradu Pengaruh, Publik Bingung Siapa Berkuasa

Iklan

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Ketegangan politik mulai terlihat setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi dan Reformasi Polri yang beranggotakan 52 perwira tinggi dan menengah Polri.

Langkah Kapolri ini dilakukan di tengah rencana Presiden Prabowo Subianto yang sedang mempersiapkan Komite Reformasi Polri yang akan bekerja langsung di bawah kendali Presiden.

Iklan

Presiden bahkan telah menunjuk Jenderal (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat sekaligus reformasi Polri.

Penunjukan ini menjadi sinyal kuat bahwa Istana ingin mengambil peran utama dalam merancang agenda reformasi kepolisian.

Sementara itu, pembentukan tim internal oleh Kapolri dinilai pengamat sebagai upaya responsif terhadap desakan publik dan rencana pembentukan Komite Reformasi Presiden.

Bambang Rukminto dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengingatkan, keberadaan dua tim yang memiliki tugas serupa justru berpotensi menimbulkan kebingungan publik.

“Potensi tumpang tindih atau ketidaksinkronan antara rekomendasi tim internal Polri dengan tim yang dibentuk Presiden tentunya ada,” ujarnya.

Menurutnya, jika dua tim ini berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi, maka hasilnya akan stagnan bahkan bisa memicu konflik kebijakan.

Bambang menyarankan agar Polri mendukung penuh Komite Reformasi Polri yang dibentuk Presiden, bukan justru menciptakan kesan adanya tim tandingan.

Dalam perspektif politik, rivalitas ini mencerminkan pertarungan pengaruh antara dua institusi negara yang sama-sama memiliki legitimasi kuat.

Kapolri bertanggung jawab langsung kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.

Namun, Presiden memiliki kewenangan tertinggi dalam mengarahkan kebijakan reformasi Polri melalui keputusan politik dan hukum, termasuk melalui Keputusan Presiden.

Jika konflik ini tidak segera diselesaikan, reformasi Polri terancam menjadi alat tarik-menarik kekuasaan yang mengorbankan kepentingan publik.

Publik kini bingung siapa yang sebenarnya memimpin reformasi, sementara kepercayaan terhadap Polri masih berada pada titik rendah akibat sejumlah kasus pelanggaran yang belum terselesaikan.

Ke depan, koordinasi antara Istana dan Mabes Polri menjadi kunci agar reformasi tidak terjebak dalam perang pengaruh elit politik.

Pewarta : M.Nan

Iklan
Iklan
Iklan