Iklan

Kusnadi, Eks Ketua DPRD Jatim yang Diduga Kantongi Rp32,2 Miliar dari Skema Dana Hibah

Iklan

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Nama Kusnadi, mantan Ketua DPRD Jawa Timur periode 2019–2024, kini menjadi sorotan tajam publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan aliran commitment fee sebesar Rp32,2 miliar yang diterimanya dari skema dana hibah kelompok masyarakat (pokmas).

Kusnadi lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, pada 7 Desember 1958. Ia dikenal sebagai politikus senior PDI Perjuangan dan pernah menjabat sebagai Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur selama dua periode, 2015–2019 dan 2019–2024.

Iklan

Selain berkarier di politik, Kusnadi juga berprofesi sebagai dosen di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Ia menamatkan pendidikan sarjana di kampus tersebut pada 1986, kemudian meraih gelar magister dari Universitas Gadjah Mada pada 1995.

Kusnadi pertama kali duduk sebagai anggota DPRD Jatim pada 2004, dan bertahan selama tiga periode hingga 2019. Pada periode keempat, ia dipercaya memimpin DPRD Jatim sebagai ketua.

Dalam kasus dana hibah, Kusnadi diduga mendapat jatah dana hibah pokmas mencapai total Rp398,7 miliar sepanjang 2019–2022. Dana ini dibagi melalui skema aspirasi anggota DPRD dengan melibatkan koordinator lapangan (korlap) di berbagai kabupaten.

KPK menyebut Kusnadi menerima commitment fee Rp32,2 miliar, yang dialirkan melalui rekening istri, staf pribadi, serta sebagian diterima tunai dari sejumlah korlap.

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, merinci aliran dana itu. Dari JPP, Kusnadi menerima Rp18,6 miliar atau 20,2 persen dari dana hibah Rp91,7 miliar. Dari HAS, Rp11,5 miliar atau 30,3 persen dari dana hibah Rp30 miliar. Dari SUK bersama WK dan AR, sebesar Rp2,1 miliar atau 21 persen dari dana hibah Rp10 miliar.

Skema distribusi dana hibah itu berlangsung sistematis. Korlap membuat proposal, menyusun rencana anggaran biaya, dan laporan pertanggungjawaban. Namun, di balik proses administratif tersebut, sudah disepakati adanya potongan biaya komitmen.

Pembagiannya meliputi 15–20 persen untuk Kusnadi, 5–10 persen untuk korlap, sekitar 2,5 persen untuk pengurus pokmas, dan 2,5 persen untuk admin proposal dan laporan. Dengan skema ini, hanya sekitar 55 persen dana hibah yang benar-benar sampai ke masyarakat.

“Bahkan setelah dipotong lagi oleh pelaksana di lapangan, realisasi dana hibah yang benar-benar digunakan untuk pembangunan hanya sekitar 40 persen. Inilah yang menyebabkan kualitas pekerjaan buruk, bangunan cepat rusak, jalan mudah hancur,” kata Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK.

KPK juga menyita sejumlah aset milik Kusnadi yang diduga berasal dari hasil korupsi. Aset itu meliputi tiga bidang tanah dengan total luas 10.566 meter persegi di Kabupaten Tuban, dua bidang tanah beserta bangunan seluas 2.166 meter persegi di Kabupaten Sidoarjo, serta satu unit mobil Mitsubishi Pajero.

Meski Kusnadi telah ditetapkan sebagai tersangka, KPK hingga kini belum mengumumkan status penahanannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik mengingat peran Kusnadi dianggap dominan sebagai aktor utama dalam skema penyelewengan dana hibah.

Kasus ini bermula dari OTT Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak pada Desember 2022. Dari pengembangan perkara, KPK kemudian menetapkan 21 tersangka, termasuk Kusnadi, dua wakil ketua DPRD Jatim lainnya, serta sejumlah anggota DPRD dan pihak swasta.

Kusnadi, yang selama ini dikenal sebagai akademisi dan politisi kawakan, kini menghadapi tuduhan serius penyalahgunaan kewenangan dan suap. Aliran dana Rp32,2 miliar yang disebut masuk ke kantongnya menjadi bukti kuat dugaan peran sentralnya dalam korupsi dana hibah Jatim.

Publik menanti langkah KPK berikutnya, apakah penahanan terhadap Kusnadi segera dilakukan atau kasus ini masih akan berfokus pada pemberi suap. Apa pun hasil akhirnya, profil Kusnadi kini lekat dengan skandal terbesar dalam sejarah DPRD Jawa Timur.

Pewarta : M.Nan

Iklan
Iklan
Iklan